OKNUM terus menikmati cerutunya di atas kursi goyang. Sesekali tenaganya ditumpukan di punggungnya untuk menekan. sandaran kursi, agar terus bergoyang. Ketenangan Oknum ini kontras dengan gemuruh yel-yel dan unjuk rasa selaksa rakyatnya, yang kini tengah mengepung rumahnya, minta Oknum turun dari tahtanya sebagai Raja. Entah keyakinan apa, Oknum sama sekali merasa tak perlu peduli, apalagi takut dengan gemuruh unjuk rasa di luar rumahnya. Ketenangan mesti dijaga.
‘’Paling-paling tak akan lama daya tahan mereka. Kalau selama ini aku biarkan, itu kan untuk komestik bahwa di kerajaan ini ada demokrasi. Itu penting untuk meninabobokkan mata tetangga-tetangga kerajaan, biar aku tak dinilai diktator, mestisebenarnya otoriter. Itu kan soal permainan,’’ kata Oknum dalam hati. Oknum ingat pesan orang tuanya, bahwa dalam hidup ini ia tak boleh main-main. Semuanya mesti dijalani dengan serius. ‘’Serius itu artinya jangan main-main, tetapi tetap jangan lupakan permainan. Ingat. Kamu mesti bisa membedakan mana yang main-main, dan mana yang permainan. Life is a game,’’ kata bapaknya yang di zaman Belanda pernah menjadi wedono, tapi tak dicap pengkhianat oleh warganya. ‘’Itu juga hasil kepiawaianku bermain,’’ kata bapaknya suatu hari. Wasiat bijak dari bapaknya itu ternyata memang menjadi landasan hidup Oknum. Kariernya yang gemilang, dititinya dari bawahdengan rumus ’jangan main-main, tapi mesti licin bermain’. Ilmu bermain atau permainan ini seakan sudah jadi sungsum dalamtulangnya, menjadi oksigen bagi paru-parunya. Maka tak heran, setiap detik waktunya, setiap jengkal tanah langkahnya, adalahirama permainan bagi pencapaian kejayaan hidupnya hari ke hari.
Alkisah, ketika ia mendengar ada perang dingin antara Kelompok Satpam kerajaan dengan Kelompok Hitam yang anggotanya para dukun, Oknum sama sekali tak pernah berpikir untuk menjadi mediator bagi kerukunan mereka. Pandangan hidupnya bahwa dalam hidup harus bermain, menghantarkannya untuk memanfaatkan momen konflik itu sebagai pijakan loncatan kariernya. ‘’Ini peluang emas. Tinggal bagaimana aku canggih memainkannya saja. Mesti halus, tapi meyakinkan kepercayaan publik, dan tentu harus telak,’’ katanya, sambil berjalan meninggalkan markasnya. Sejak itu, tak ada detik yang dilewati Oknum untuk tidak memikirkan bagaimana strategi dan taktik jitu untuk memanfaakan momentum emas ini. Semangatnya malah membara, ketika diketahui Raja di negerinya tak segera mengambil sikap tegas dengan konflik itu. Malah menurut penilaiannya, Raja telah mengambil sikap keliru dengan mencoba merukunkan Kelompok Satpam, Kelompok Hitam, Kelompok Pencinta Kerajaan, dan Kelompok Putih ke dalam satu wadah.
‘’Ini langkah Raja yang fatal, bodoh, dan akan menjadi bumerang. Apa ia tak berpikir, bagaimana mungkin rakyat banyak akan menerima satu wadah yang menyatukan Kelompok Hitam, Kelompok Nasionalis, dan Kelompok Putih, padahal di antara mereka ada perbedaan mendasar yang tak mungkin bisa disatukan? Ini akan mengacaukan suasana politik saja, tak pelak, bahkan perang saudara. Inilah kesempatanku, kesempatanku!!’’ teriaknya dalam hati. Oknum juga tahu, kian hari kian membara saja magma pertentangan dan rebutan pengaruh antara Kelompok Hitam dengan Kelompok Satpam. Terutama untuk merebut pengaruh Raja, yang masih bingung itu. Posisi Oknum yang cukup strategis di Kelompok Satpam, tak urung menceburkannya di konflik itu. ‘’Kelompokku harus menang, dan aku yang harus di depan. Permainan segera disusun dan diwujudkan,’’ katanya mantap. Maka di suatu malam, dari atas kursi goyang itu, Oknum menemukan langkah halus, jitu, dan telak. Sontak ia berdiri, mengambil kertas dan pena, menyusun strategi perang untuk menyingkirkan Kelompok Hitam, sekaligus tokoh-tokoh kerajaan yang selama in menjadi rivalnya. ‘’Ini permainan yang paling halus dan amat sangat meyakinkan. Aku akan bersih dan bahkan tampil sebagai pahlawan. Setelah itu, semua dikomandoku,’’ katanya seraya tersenyum puas, seusai menyusun strateginya.
***
Hari masih pagi, ketika Oknum menerima kedatangan kepala-kepala kesatuan, yang menjadi anak buahnya. Karena di Kelompok Satpam posisinya ketua operasional keamanan kerajaan, maka amat mudah bagi Oknum untuk menyosialisasikan gagasan strategisnya. ‘’Saudara-saudara, pagi ini Anda saya kumpulkan, karena menurut informasi intelijen dan pengamatan saya sendiri, Raja mulai terpengaruh dengan slogan-slogan Kelompok Hitam. Ini bahaya. Sebab kalau sampai Raja bisa didikte mereka, dan sebagian besar dari mereka bisa dipercaya memegang jabatan-jabatan strategis, maka mampuslah kita. Bahkan rakyat juga akan menderita. Mereka akan membelokkan roda kerajaan ini menjadi penuh ilmu hitam, seperti keyakinan mereka. Ini tak bisa dibiarkan,’’ katanya. Sejenak Oknum diam, menunggu reaksi dan antusias orang yang mendengarnya.‘’Lalu,’’ tanya seorang anak buahnya.
Oknum menarik napas panjang sesaat. ‘’Kita mesti berbuat sesuatu untuk menjatuhkan nama baik Kelompok Hitam, bahkan yang akan membuat rakyat antipati dengan kelompok ini.’’ ‘’Itu toh sudah lama kita lakukan dengan berbagai propaganda,’’ kata seorang anak buahnya.‘’Tapi kan tidak efektif, to? Mereka malah lebih gigih berpropaganda. Kecenderungannya, rakyat malah mendukung mereka.Apalagi, tampak Raja juga mulai condong ke kelompok ini,’’ sahut yang lain. Mereka semua manggut-manggut.‘’Karena itu,’’ kata Oknum, ‘’sat ini tak lagi cukup propaganda. Jadi harus aksi. Bukan sekadar aksi, tapi aksi yang akan menjatuhkan kepercayaan kelompok pengkhianat ini. Bahkan, aksi yang akan mendorong kelompok ini harus bubar. Bubar, tak ada pilihan lain,’’ tandasnya.
Mereka yang mendengar terhenyak. Bahkan seperti tak percaya. Mana mungkin bisa membubarkan Kelompok Hitam, yang kini begitu kuat dan populer di seantero kerajaan?‘’Jangan dikira tidak bisa. Sangat bisa. Saya maklum kalau Saudara-Saudara ragu. Begini caranya,’’ katanya.‘’Aksi pertama untuk mendiskreditkan mereka, ialah melakukan pembunuhan ke lawan-lawan Kelompok Hitam. Kita gasak siapa saja yang tak setuju atau memusuhi kelompok ini. Kita akan menggunakan cara-cara hitam mereka, bahkan dalam setiap aksi, kita akan menggunakan seragam mereka. Paham?’’ tanyanya. Di dalam benaknya, Oknum membayangkan para tokoh yang menjadi rivalnya akan bertumbangan.
Para anak buahnya saling pandang, tak ada suara. Beberapa saat suasana hening.‘’Tapi Pak Ketua. Mohon maaf kalau saya lancang, tapi ini harus saya tanyakan. Mungkin ini juga menjadi pertanyaanteman-teman di sini. Begini...’’‘’Cepat, jangan berputar-putar,’’ potong Oknum, mulai tak sabar.‘’Ya,ya. Begini. Orang-orang yang paling keras memusuhi Kelompok Hitam itu, ya orang-orang kita sendiri. Para pimpinan kita sendiri. Berarti, kalau strategi itu dilakukan, yang akan kita bunuh kan para pimpinan kita sendiri. Bagaimana ini?’’ tanya anak buah ini ragu-ragu.Oknum tak kalah pintar berakting. Ia tahu pertanyaan itu akan timbul, tapi untuk meyakinkan para anak buahnya, ia pura-pura berpikir. Padahal, di sakunya sudah ada jawaban. Hening sesaat, oknum pun bicara.‘’Saya juga berpikir seperti itu, pada awalnya. Semula memang berat rasanya, bila strategi ini harus memakan korban keluarga kita sendiri. Tapi, setelah saya pikir-pikir lama, tak ada cara lain yang efektif dan jitu untuk menjatuhkan kepercayaan rakyat pada kelompok ini. Apalagi yang bisa memicu kemarahan rakyat pada kelompok ini, yang selanjutnya akan mendorong Raja untuk membubarkannya. Tak ada cara lain, tak ada. Tapi apakah saudara-saudara punya cara lain, yang jitu, halus, dan telak mematikan lawan kita ini?’’ Tak ada yang bisa menjawab. Semua sibuk berpikir dengan angan-angannya sendiri. Setelah waktu berjalan cukup lama dalam kebisuan, Oknum mengambil komando lagi. ‘’Ada yang tahu?’’Semua menggeleng. ‘’Oke kalau begitu. Bila memang tak ada alternatif terbaik, inilah satu-satunya cara yang paling halus dan jitu. Tak perlu ada pembicaraan lagi. Kalian yang saya undang sangat terseleksi. Saya mempercayakan penuh kerahasiaan strategi ini di pundak Saudara. Bila sebelum terlaksana sudah bocor, semua yang hadir di sini mempertaruhkan nyawanya. Setuju?’’‘’Siap, Pak Ketua.’’ jawab anak buahnya kompak.
‘’Sebelum bubar, untuk pelaksanaan lebih konkret, dan siapa saja yang menjadi sasaran, akan ada undangan rapat lagi.Masing-masing harus saling komunikasi terus secara rahasia,’’ katanya.
***
Tengah malam sendirian, Oknum menyusun orang-orang yang harus disingkirkan. Daftar orang-orang yang selama ini amat keras memusuhi Kelompok Hitam, sekaligus menjadi rivalnya diam-diam untuk menduduki tahta, didaftarnya untuk disikat. Sebagian besar memang para atasannya sendiri. Oknum tersenyum simpul membaca nama-nama itu. ‘’Kelompok Hitam akan mampus dan para pesaingku akan lenyap semua. Tak ada pilihan lain, pada akhirnya tinggal aku yang pegang komando. Kalau para rival ini mati, tak ada lagi orang yang jabatannya ada di atasku. Dan selanjutnya adalah babak permainan bagaimana menyingkirkan Raja. Ha... ha... ha,’’ tawanya puas.
***
Maka, di suatu tengah malam, para tokoh musuh Kelompok Hitam berjatuhan. Peluru-peluru panas berdesingan dari senapan anak-anak buah Oknum yang menggunakan seragam Kelompok Hitam, menembus dada atau kepala mereka. Ada juga yang terpaksa menembus dada anak seorang tokoh, hingga tewas, sementara sang tokoh yang disasar bisa melarikan diri, meski seumur hidup menjadi pincang karena melompat dari dinding yang tinggi. Tapi ini bukan tokoh penting, karena tak punya pasukan dan teritorial. Oknum tenang saja ketika dilapori lolosnya satu tokoh ini. Seperti skenario yang disusun. Maka rakyat marah kepada Kelompok Hitam. Didukung emosi rakyat, Kelompok Satpam yang sudah kehilangan para pemimpinnya, punya alasan untuk mencincang orang-orang Kelompok Hitam. Komando sepenuhnya dipegang Oknum. Raja tak bisa apa-apa, malah sibuk mencari jalan menyelamatkan tahtanya. ‘’Dalam revolusi, hal seperti ini biasa,’’ kata Raja menghibur diri, saat menerima Oknum menghadap.‘’Tapi Raja, mohon maaf. Tak bisa kita membenarkan apa yang dilakukan Kelompok Hitam ini. Sesuatu harus dilakukan. Di luar, peluru-peluru berdesingan, korban berjatuhan. Mereka yang tak tahu apa-apa bisa tumbang bermandi darah. Raja, mohon maaf, jangan biarkan ini lewat begitu saja,’’ kata Oknum.‘’Maksudmu?’’ kata Raja.
‘’Kelompok Hitam mesti dibubarkan. Para tokohnya kita ajukan ke pengadilan. Hanya itu cara yang yang paling tepat untuk menenteramkan rakyat, menyelesaikan huru-hara ini,’’ tandas Oknum, mulai memainkan skenarionya di babak selanjutnya.‘’Kalau Raja setuju, Raja tak perlu bertindak sendiri, beri saja saya surat kuasa atas nama Raja, untuk mengatasi keadaan ini.’’‘’Apa engkau harus duduk di kursiku?’’ tanya Raja menyelidik.‘’Tak perlu begitu Raja,’’ kata Oknum cepat-cepat. ‘’Cukup beri surat mandat untuk membubarkan Kelompok Hitam dan memulihkan keadaan secepat mungkin. Sebelum kemarahan rakyat ini mengarah ke Raja. Bagaimanapun, Raja dinilai sempat memberi kesempatan pada Kelompok Hitam untuk malang-melintang.’’ Raja merenung, merasa terdesak. Tak ada lagi cara untuk mengelak, apalagi di luar kerajaan, Kelompok Satpam bersiaga perang, dan sebagian rakyatnya jadi korban pencincangan. Melihat kebimbangan Raja, Oknum terus mendesak. ‘’Saya tak bisa menjamin tak akan terjadi perang saudara, kalau langkah besar tidak segera diambil Raja,’’ ujar Oknum menjatuhkan ancamannya.
Raja kian linglung. Wajah-wajah di sekelilingnya diamatinya. Teman-teman Oknum di situ, memang tak ada yang berwajah ramah. Seseorang malah menatapnya tajam dengan tangan memegang senjata erat-erat. Raja terkesiap. Dadanya berdegup. Ia baru sadar, Oknum sesungguhnya tengah mengudetanya secara halus. Raja sadar, ia sudah tak punya pilihan, paling tidak untuk saat ini. Semua komando ada di tangan Oknum. ‘’Belut,’’ kata Raja dalam hati. ‘’Ya sudahlah, aku akan memberimu mandat untuk memulihkan keadaan. Setelah itu komando kerajaan di tanganku,’’ kata Raja akhirnya. Mencoba menegakkan kewibawaannya kembali. Tapi, sesungguhnya ia sendiri sudah tak yakin.
‘’Siap Raja,’’ kata Oknum, sambil menahan kegembiraan hatinya. Satu babak terlewati. Babak selanjutnya memang tergantung apa mau Oknum. Dengan berbekal surat mandat itu, maka Oknum langsung mengumumkan pembubaran Kelompok Hitam dan para tokohnya diseret ke pengadilan. Rakyat memujanya dan bergemuruh mendukung keputusannya. Babak selanjutnya, Oknum merekayasa para tokoh Kelompok Hitam yang diadili, untuk menyatakan bahwa Raja merestui langkah mereka menyingkirkan para musuh Kelompok Hitam. Yang menolak rekayasa itu, tiba-tiba mati di tahanan. Alhasil, angin yang berembus di kerajaan itu pun percaya, Raja merestui kebrutalan Kelompok Hitam, maka Raja menjadi amat jahat dan mesti lengser. ‘’Kami semua dengan tekad yang bulat memilih Oknum sebagai pengganti Raja. Perjuangannya membela bangsa dan kerajaan, ketegasan dan pengabdiannya, tak meragukan lagi untuk memilih Oknum menjadi Raja,’’ kata banyak suara dari seluruh penjuru kerajaan. Raja dipaksa bertekuk lutut. Bahkan, pengadilan malah menjatuhkan putusan ia bersalah. Maka, muluslah skenario Oknum menjadi Raja.
***
Di atas kursi goyang, sambil mengisap cerutu, Oknum membayangkan kembali kepiawaiannya bermain, yang menghantarkannya di tahta emas ini. Bibirnya menyungging senyum. ‘’Karena itu, mengapa mesti khawatir dengan unjuk rasa di luar, yang memintaku turun? Ada banyak skenario untuk meredam mereka. Sementara ini, cukup anak-anak didikku saja yang turun tangan. Mereka toh sangat loyal dan sudah pintar-pintar,’’ katanya tenang. Tapi Oknum ternyata sudah pikun. Tak paham perkembangan keadaan, karena terlalu percaya pada laporan-laporan yang senantiasa menyenangkannya. Oknum juga tak sadar, di saat krisis, para anak didiknya yang pintar-pintar, juga memainkan ilmu permainan. Semua sontak memusuhinya, merekayasa keadaan untuk mendongkelnya dari tahta. Tiba-tiba bagai air bah tak terbendung, dari seluruh penjuru kerajaan berteriak,’’Munduuuuurrrrrrrr!!!!’’ Oknum tersentak. Selaksa tangan mendorongnya, termasuk para anak buah yang selama ini dibesarkannya. Tak ada angin yang bisa menahannya untuk tidak terjungkal dari kursinya. Muncullah kini Oknum-Oknum baru berebut tahta. Semuanya tidak main-main, dan memainkan ilmu permainan yang mereka pelajari dari Oknum. Oknum sendiri sekarang entah di mana.